Powered By Blogger

Rabu, 21 Maret 2012

Artikel Kebudayaan

Fenomena Angkringan di Yogyakarta

Angkringan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti tongkrongan, atau tempat berkumpul dan mengobrol. Angkringan yang ada di Yogyakarta merupakan suatu konsep berjualan makanan dan minuman yang memang asyik untuk berkumpul dan mengobrol. Hanya dengan gerobak yang diterangi lampu minyak, angkringan menjadi tempat favorit untuk sekedar makan dan bertukar pikiran.
Di warung angkringan tersedia berbagai macam menu minuman dan makanan. Untuk menu minuman yang menjadi favorit adalah jahe susu dan kopi joss, yaitu kopi yang dicampur dengan arang yang membara. Untuk makanan nasi kucing menjadi pilihan utama. Bukan itu saja, di angkringan juga tersedia berbagai macam makanan ringan seperti gorengan, sate jeroan, sate ceker ayam dan lain-lain.
Fenomena yang ada saat ini di Yogyakarta yaitu munculnya ribuan angkringan bak jamur di musim hujan. Diperkirakan jumlah angkringan yang ada di Yogyakarta mencapai 2000an angkringan. Angka yang sangat dahsyat untuk ukuran usaha kuliner. Angka ini mampu melebihi usaha waralaba yang juga menjamur. Dengan banyaknya angkringan ini tentunya juga akan semakin banyak menyerap tenaga kerja. Biasanya pemilik angkringan memperkerjakan 2 sampai 4 orang pembantu. Asumsikan saja setiap angkringan membutuhkan 2 orang tenaga kerja, berarti ada 4000an orang yang terserap dari usaha ini.
Angkringan paling mudah dijumpai di daerah-daerah sekitar kampus. Alasannya jelas, yaitu kehadiran mahasiswa-mahasiswa yang mengundang para pengusaha angkringan untuk membuka usahanya di sekitar kampus. Keuntungan yang diraup tidak main-main, berdasarkan cerita dari seorang pengusaha angkringan penghasilan bersih satu malam saja mampu mencapai 200ribu sampai 500ribuan. Fakta inilah yang membuat orang berbondong-bondong untuk membuka usaha angkringan yang penghasilannya sangat menggiurkan.
Dengan fenomena yang ada sekarang ini, pantaslah angkringan menjadi icon dari kota Yogyakarta. Tentunya dengan fenomena ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal bahkan mancanegara untuk datang ke Yogyakarta. Tentu saja ini dapat dijadikan pendapatan andalan daerah, karena uang yang berputar dari usaha angkringan ini jumlahnya tidak main-main dan yang paling penting mampu menyerap tenaga kerja yang signifikan.
Jika anda berkunjung ke Yogyakarta, tidak ada salahnya anda untuk berkunjung ke salah satu angkringan di Yogyakarta.

Mengenal Festival untuk Anak di Jepang

Negara Jepang terkenal akan kekentalan budayanya yang diwariskan secara turun temurun sehingga tidak banyak perubahan terjadi terhadap budaya yang telah dimilikinya. Salah satu budaya Jepang yang sampai saat ini terus dilakukan turun temurun adalah festival-festival yang diselenggarakan secara rutin. Ada banyak macam festival yang diadakan di Jepang setiap tahunnya di berbagai wilayahnya. Festival Anak merupakan bagian dari banyak festival di Jepang yang cukup menarik untuk dibahas.
Festival Hina Matsuri atau yang dikenal sebagai Momo no Sekku merupakan festival yang dirayakan pada tanggal 3 Maret dan diperuntukkan bagi para gadis. Pada saat inilah para gadis berdoa untuk pernikahan yang baik. Dekorasi festival Hina Matsuri ialah hina-ningyou, yaitu hina dolls. Pada festival ini juga para gadis dapat menikmati makanan seperti shirozake dan permen merah dan putih. Masyarakat Jepang percaya bahwa tidak baik untuk membiarkan hina dolls terlalu lama sebab dipercaya dapat menunda pernikahan, sehingga sesegera mungkin dibuang setelah tanggal 3 Maret. Popularitas Momo no Sekku sebagai Hina Matsuri telah ada sejak periode Meiji, yang sebelumnya merupakan festival piknik untuk anak laki-laki dan perempuan.
Selain festival untuk anak gadis, di Jepang juga ada festival yang diperuntukkan bagi anak laki-laki, yaitu Tango no Sekku dan Shichi-go-san. Kedua festival ini khusus untuk anak laki-laki. Tango no Sekku lebih dikenal dengan Hari Anak dan merupakan hari libur nasional pada tanggal 5 Mei. Setiap keluarga yang memiliki anak laki-laku memberikan boneka samurai yang memiliki jubah pelindung dan miniatur helm-helm, juga koi-nobori yang digantung, dan membeli irises dan kashiwa-mochi, dan tak lupa untuk berdoa untuk para putranya agar mereka sukses di dalam hidup. Boneka samurai dan koi-nobori sendiri sebenarnya telah ada pada periode Edo, dan menjadi semakin populer pada periode Meiji. Selain Tango no Sekku, festival Shichi-go-san merupakan perayaan untuk anak laki-laki yang telah mencapai ulang tahunnya yang ketiga atau kelima dan anak perempuan yang telah berulang tahun yang ketiga atau ketujuh untuk mulai berdandan dan menghormati leluhur mereka.

KONFLIK KEBUDAYAAN ANTARA TIMUR DAN BARAT
Perdebatan terhadap budaya tradisional dan moderen dalam pergumulan kebudayaan Barat dan Timur pada era yang disebut globalisasi tidak habis-habisnya hingga hari ini, bahkan tidak mungkian pernah selesai. Kebudayaan Barat kadang-kadang dipandang sebagai budaya haram yang menghancurkan nilai-nilai kebudayaan tradisional yang dianggap luhur.
Kebudayaan moderen yang menumbuhkan kebudayaan baru yang disebut budaya populer sepertinya telah mampu menembus celah-celah kehidupan berbudaya bangsa timur, termasuk kebudayaan Minangkabau. Untuk melakukan perlawan terhadap kebudayaan Barat tersebut, para kelompok antisisme budaya Barat sering mencanangkan kampanye terhadap pengaruh budaya barat terhadap perusakan moral anak bangsa. Kebudayaan Barat, dalam hal seni moderen (musik, tari, teater, filem, dsb) seakan-akan titik awal perosakan kebudayaan timur.
Hadirnya era informasi dan komunikasi global, kebudayaan tradisional sepertinya mendapat perlawanan yang ketat melawan dirinya sendiri untuk bertahan atau berkembang. Kesenian yang berkembang hari ini telah banyak mengalami pergeseran fungsi. Kebudayaan tradisional yang semula melekat dengan adat dan agama cendrung dikembangkan menjadi kebudayaan tontonan, dan bahkan sebagai propaganda. Ikatan-ikatan  estetis antara elemen-elemen tradisional dengan kebudayaan baru menuju budaya populer yang moderen bagaikan peristiwa perlawanan budaya yang sulit diantisipasi.
Akibat daripada perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang bermula dari Barat juga telah menembus sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia dalam mempermudah hubungan manusia dengan dunia luar. Manusia dapat menikamti berbagai peristiwa yang terjadi  melalui media komunikasi dan informamsi yang berteknologi moderen yang disebut dunia maya, seperti televisi, internet, video-video  melalui media player dan sebagainya.
Merujuk kepada peristiwa budaya masa lampau yang disebut zaman kebudayaan sasaran dan surau di Minangkabau yang kehidupan masyarakatnya sangat didominasi oleh kebudayaan lokal. Teknologi informasi sebagaimana adanya hari ini belum lagi dikenal pada masa itu. Teknologi informasi masyarakat lebih banyak kepada tradisi lisan antara satu orang dengan orang lainnya, atau menggunakan simbol-simbol tertentu yang memberikan makna tertentu pula kepada masyarakat.
Kebudayaan yang berkembang di sasaran berupa kesenian dan adat istiadat telah mampu mengajak generasi mudanya kepada masyarakat yang beradat, tahu nan ampek. Manakala pendidikan surau dan kebudayaan yang bernuansa islami telah mampu mengantarkan anak bangsa Minangkabau menjadi orang nan sabana orang yang berbudi mulia, dan taat beragama. Artinya pendidikan sasaran dan surau telah mampu menghasilkan generasi yang berintelektual kebangsaan. Pendidikan sasaran dan pendidikan surau bagaikan aur dengan tebing, sandar menyandar keduanya dalam mengisi keperibadian generasi penerus bangsa. Kenapa generasi sekarang sekarang sering mengagungkan masa lampau itu? Benarkah pendidikan Barat telah meluluhlantakkan budaya sasaran dan meruntuhkan surau, sebagaimana prediksi A.A Navis dalam robohnya surau kami?
Kedua pertanyaan di atas perlu dijawab oleh setiap masyarakat Minangkabau. Percaya atau tidak, kedua institusi tradisional tersebut (sasaran dan surau) dalam perkembangan kebudayaan moderen yang dipengaruhi budaya Barat telah mengalami suatu dilema kebudayaan yang sarat dengan pertentangan antar generasi (generasi tua dengan muda, pemerhati budaya tradisional dengan aliran modernisme). Dalam hai ini, peristiwa sejarah kebudayaan Minangkabau masa lampau dan sekarang adalah sesuatu yang selalu saja menarik diperbincangkan oleh ilmuan.
Ketika  runtuhnya rezim Orde Baru, dan bergulirnya reformasi, ditindak lanjuti pula dengan otonomi daerah merupakan sesuatu yang menarik dalam perjalanan kebudayaan Indonesia, khususnya Minangkabau. Otonomi daerah membuka ruang kepada daerah-darah mengatur dirinya sendiri demi kemajuan daerah. Daerah disarankan untuk mebali kepada nilai-nilai lama yang masih relevan dengan perkembangan kebudayaan masa kini. Daerah dianjurkan pula untuk memikirkan bagaimana kesejahteraan rakyat meningkat, mengentaskan kemiskinan dan sebagainya.
Bagi masyarakat Sumatera Barat, yang lebih populer dengan etnik Minangkabau memanfaatkan fenomena demikian untuk membuka kembali lembaran sejarah lama yang dianggap berjaya melahirkan generasi bangsa yang intelektual. Masyarakatnya yang hidup dalam kelompok nagari-nagari bagaikan sebuah negara kecil yang mampu menghidupi diri sendiri untuk mencapai kesejahteraan dan mencerdaskan anak nagarinya. Kebudayaan anak nagari hidup mekar sebagai media pendidikan dan hiburan masyarakat satu-satunya. Kesenian anak nagari adalah primadona tontonan yang ampuh dalam membawa generasi yang  berbudaya. Pendidikan surau telah mempu membawa generasi muda yang bermoral dan berbudi mulia dengan landasan Al-quran dan sunnah rasul. Dalam hal ini memegang teguh falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.
Menyikapi fenomena masa lampau itu, bagi pemerintah daerah Sumatera Barat, otonomi daerah adalah ruang yang amat penting dipergunakan untuk kembali membuka tabir lama yang pernah cemerlang, istilah yang lebih populer adalah ”kembali ke nagari dan kembali ke surau” untuk membangkit batang tarandam, setelah puluhan tahun terbenam dalam konsep sentralistik.
Kembali kepada pertentangan kebudayaan Barat dan Timur, sebagian masyarakat seakan-akan memilih sikap alergi terhadap kebudayaan Barat yang merajalela membawa generasi muda ini kepada suatu pola kehidupan budaya moderen. Kecemerlangan masa lampau bagaikan tergilas habis oleh perang kebudayaan. Konsep kebudayaan yang kuat membilas kebudayaan lemah. Kebudayaan barat tidak hanya masuk kepada kebuyaan lokal tradisional untuk menyesuaikan diri, melainkan mempengaruhi kebudayaan tempatan untuk berubah menuju budaya populer yang moderen.
Persoalan sekarang, mungkinkah kebudayaan Barat itu kita halangi masuk ke daerah-daerah yang notabene tradisional dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang marak dikampanyekan. Tentu amat sulit menjawabnya. Kembali ke nagari dan kembali ke surau bukan berarti kita kembali mamatikan lampu listrik dan kembali kepada lampu promak, suluh daun kelapa pergi ke surau dan menonton pertunjukan kesenian anak nagari, dan sebagainya. Melainkan, mengambil roh kecemerlangan budaya masa lampau untuk mengantisipasi berkembangnya budaya barat yang moderen.
Menyikapi fenomena di atas, secara kontinyu kebudayaan daerah  seharusnya dikembangkan untuk mempertahankan hak hidupnya dalam gejolak persentuhan budaya antara Barat dan Timur, antara tradisional dengan moderen. Perubahan bentuk dan fungsi suatu kebudayaan seharusnya mampu membawa nilai-nilai yang masih dianggap relevan bertahan atau dikembangkan.
Oleh karena itu, usaha untuk “mereaktualisasikan” kebudayaan tradisional untuk membuat aktif atau mengembangkan nilai-nilai hidup yang masih relevan dan hayati dengan kreatif sangat penting. Dalam percaturan kebudayaan Barat dan Timur, kebudayaan tradisional kalaupun tidak dapat dipertahankan sebagaimana adanya, paling tidak menutup kemungkinan dikembangkan sesuai dengan raso jo pareso dalam tatanan alur dan patut. Artinya, antara kebudayaan Barat yang dianggap moderen dan Timur yang dianggap tradisional tidak perlu menjadi perbincangan atau dipertentangkan saja, akan tetapi perlu sikap kepiawaian dalam mempertahankan atau menggabungkan dalam bentuk peristiwa akulturasi kebudayaan. Bagaimanapun juga, proses perubahan kebudayaan akibat persentuhan kebudayaan akan tetap terjadi, baik disebabkan faktor internal maupun eksternal.
Oleh karena itu, sikap pemerintah Sumatera Barat yang mencanangkan kembali ke nagari dan kembali ke surau adalah suatu ruang yang tepat untuk membangun kembali budaya lama yang masih relevan, dan dikembangkan dalam masyarakat menuju budaya moderen. Kebudayaan dan kesenian bernuansa Islam yang semula berkembang di surau-surau sepatutnya dapat dikembangkan dengan membawa misi keagamaan.  Kesenian anak nagari yang hidup dan berkembang di sasaran juga kembali bangkit dengan membawa misi adat istiadat Minangkabau.
Persoalan berikutnya adalah, sudah sejauh mana pelaksanaan otonomi daerah dalam konsep kembali ke nagari dan kembali ke surau relevan dilaksanakan hingga hari ini. Siapakah yang bertanggungjawab untuk menjawab probelema kebudayaan Minangkabau yang terebar di nagari-nagari. Kemudian, sudah sejauh mana peranan dinas pariwisata seni dan budaya dalam menjawab tantangan kebudayaan. Pertanyaan berikutnya, sudah sejauh mana pula lembaga-lembaga kesenian melakukan kiprahnya dalam pembangunan seni budaya ranah bundo. Sudah pernahkan semuanya ini duduk seamparan membincangkan strategi pelestarian, pengembangan kebudayaan daerah menatap pergulatan budaya Barat yang moderen.

PENTINGNYA MENJAGA BUDAYA
Negara Indonesia adalah negara kultural, yang artinya ditempati atau diduduki oleh masyarakat(rakyat) yang memiliki bermacam-macam kebudayaan. Patut disyukuri, karena walaupun Indonesia di huni oleh beranekaragam budaya, Indonesia masih tetap bisa bertahan sebagai negara yang utuh. Itu semua di karenakan adanya falsafah Indonesia yang disebut Pancasila. Dimana dalam sila ketiga telah disebutkan, yang berbunyi “Persatuan Indonesia”.
Disamping Pancasila, Sumpah Pemuda pun menjadi alat untuk pemersatu bangsa Indonesia.
Pentingnya mempertahankan budaya yang ada di Indonesia, karena mulai masuknya budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia. Kurangnya filterisasi terhadap budaya asing yang masuk ke Indonesia membuat budaya yang ada di Indonesia mulai luntur.
Sebagai contoh yang kongkrit, bila ada hari-hari besar di Indonesia masyarakat sekarang umumnya memperingati dengan cara hura-hura/meminum-minuman keras. Kurangnya kesadaran dan tidak adanya filterisasi menjadi ancaman yang serius untuk kebudayaan di Indonesia. Tak hanya itu, lunturnya kebudayaan di Indonesia disebabkan oleh arus globalisasi yang sangat cepat, dimulai dari tekhnologi, hingga bahasa pun menjadi korban. Kita lihat saja, jarang sekali anak-anak sekarang yang bermain-permainan daerah, yang meraka tahu hanya playstation(PS). Itu contoh yang sangat buruk bagi Indonesia.
Bukan hanya itu banyaknya kebudayaan Indonesia yang di claim oleh negara lain pun menjadi ancaman yang sangat serius bagi bangsa Indonesia, kurang proteksi dan jarangnya ditampilkan suatu kebudayaan, tersebutlah yang menyebabkan Indonesia telah kehilangan banyak budaya atau di claim oleh negara lain.
Akan tetapi sungguh tidak etis bila kita hanya membicarakan pengaruh-pengaruh yang dapat melunturkan kebudayaan di Indonesia. Kita selaku bangsa dan rakyat Indonesia seharusnya pun sadar, akan pentingnya bentuk suatu kebudayaan. Bukan hanya memahami, akan tetapi mulai dari sekarang mencoba untuk tetap melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia. Selain itu, harus ditingkatkannya rasa nasionalisme untuk negara Indonesia.
Jangan sampai, kejadian-kejadian yang telah dapat melunturkan kebudayaan terjadi kembali di masa yang akan datang. Jangan pula anak cucu kita, tidak tahu apa itu wayang golek,wayang kulit, tari-tari tradisional, alat musik tradisional. Oleh karena itu, mulailah dari sekarang untuk meningkatkan rasa kebangsaan, dan nasionalisme, agar kita dapat mempertahankan kebudayaan.


TORTOR BATAK DAN SENI BUDAYA
Bila mendengar istilah ”Tortor Batak” maka yang terbayangkan adalah sekelompok orang (Batak Toba) yang menari (manortor) diiringi seperangkat alat musik tradisional (gondang sabangunan). Gerak tari yang gembira ria, lenggak-lenggok yang monoton, yang digelar dalam sebuah pesta (suka/duka) di kawasan Tapanuli  Dulu, tradisi manortor pada umumnya berlangsung dalam kehidupan masyarakat Batak antara lain wilayah Samosir, wilayah Toba dan sebagian Humbang. Sementara untuk kawasan Silindung setelah masuknya Kristen dikenal budaya “menyanyi” dan tarian “moderen” dan di kawasan Pahae dikenal tumba (tarian gembira dengan lagu berpantun) seperti disebut Pahae do mula ni tumba.
Perkembangan selanjutnya hingga memasuki abad “modern” masyarakat Batak membawa seni budayanya ke tanah perantauan di luar Tapanuli  termasuk seni tortor yang pada awalnya menggunakan musik rekaman (kaset) hingga akhirnya seperangkat alat gondang sabangunan dibawa hijrah yang kemudian kelompok musik tradisionalnya melayani masyarakat Batak sekaligus mata pencaharian atau bisnis musik.
Di tahun 1970- hingga 1980-an, hampir semua kegiatan adat masyarakat dilakukan dalam bentuk tortor dan gondang sabangunan, baik dalam pesta adat perkawinan, pesta peresmian rumah parsattian, pesta tugu, pesta membentuk huta/perkampungan juga pesta adat kematian orangtua, bahkan kalangan pemuda menggelar “pesta naposo”sebagai ajang hiburan dan perkenalan (mencari jodoh). Pesta Naposo, di beberapa daerah disebut juga pesta rondang bulan (Samosir), pesta rondang bintang (Simalungun). Tidak ketinggalan Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, dalam rangka pelestarian seni budaya Batak Toba selalu menggelar festival tortor menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Festival ini dilakukan mulai dari tingkat Kecamatan hingga diperoleh utusan dari 5 wilayah (Silindung, Humbang I, Humbang II,  Toba dan  Samosir) untuk mengikuti Festival Tortor Tingkat Kabupaten, dan selanjutnya juara-juara menjadi peserta pada Festival Tortor di tingkat Propinsi. Setelah otonomi daerah, masing-masing Kabupaten ex Tapanuli Utara juga menggelar festival tortor dalam berbagai kegiatan pesta perayaan hari jadi atau hari-hari besar lainnya juga untuk kegiatan kepariwisataan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan bergulirnya waktu, kehadiran gerak tari yang trend di tahun 1990-an seperti dansa, jojing dsb, simultan dengan munculnya alat musik elektronik (keyboard), di beberapa wilayah  Tapanuli, penggunaan tortor dan gondang sabangunan hampir tidak kelihatan lagi, hingga bila masyarakat ingin menyaksikan gondang sabangunan dan tortor Batak harus secara khusus ke daerah wisata yang memang tersedia kelompok seni budaya tradisionalnya seperti Tomok, Simanindo, Pangururan di Samosir, Perkampungan Wisata di Jangga kec.Lumbanjulu Toba, sementara kelompok gondang sabangunan kelihatannya “bubar” atau hijrah ke luar bona pasogit antara lain ke Jakarta atau Jawa, Riau dan sebagainya. Kalaupun ada hajatan atau pesta yang menginginkan gondang Batak biasanya dipesan dari wilayah Toba (Balige, Porsea, Laguboti) dan wilayah Samosir, sedang di wilayah Humbang peralatan musik gondang yang digunakan kelihatannya tidak lengkap (hanya ada beberapa buah taganing, ogung dan seruling).
Hingga memasuki abad 21, alat musik yang dipergunakan merupakan campuran dari alat musik modern (keyboard, drum) dengan alat musik tradisional (taganing, seruling) saja, dan hampir seluruh daerah/wilayah memilikinya dengan menggunakan “lagu/nyanyian” modern yang diciptakan seiring dengan trend lagu yang berkembang. Mungkin bagi orang-orang yang mendalami adat dan seni budaya Batak tradisional, kondisi ini sedikit menimbulkan pertentangan bathin bahkan tidak respek, sementara bagi masyarakat umum tidak mempersoalkannya bahkan menikmatinya.
Ada ironi yang terjadi dalam penyelenggaraan pesta yang menggunakan musik modern atau campuran sebagaimana disebutkan diatas, yakni ketika penyelenggara (hasuhuton) dan para tetamu, undangan (naniontang) akan manortor, maka dia meminta pemusik untuk menggelar musiknya dengan menyebut “Panggual-Pargonsi, baen hamu ma jo gondang i, asa manortor hami, baen hamu ma gondang mula-mula, gondang somba, gondang simonang-monang, gondang hasahatan sitio-tio”.  Maka kelompok musik akan menabuh drum dan membunyikan keyboardnya dengan lagu-rythim modern dan tarian yang dipertunjukkan sudah pasti tarian “modern” bukan lagi tortor Batak.
Kondisi yang demikian tentu akan semakin mempercepat punahnya tortor Batak dan musik tradisional Batak-gondang sabangunan, hal ini sudah menggejala dan kelihatan nyata terutama bagi generasi muda Batak, mereka tidak lagi mengetahui tortor dan musik Batak yang sebenarnya, yang mereka ketahui adalah apa yang mereka lihat selama ini “musik dan tarian modern” yang ddigelar dalam pesta-pesta, itulah tortor dan musik Batak. Timbul pertanyaan, haruskah kita biarkan tortor-musik tradisional Batak ini punah? Bukankah tortor dan musik Batak tersebut adalah identitas budaya Batak dalam keragaman seni budaya Indonesia?
Tortor, Makna Kehidupan Seni-Budaya Orang Batak
Sebagaimana lazimnya dalam berbagai etnis di dunia, gerak tari sebagai bagian dari seni budaya merupakan refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Bahasa menunjukkan bangsa, sebut para budayawan, maka tarian/gerak adalah juga bahasa (tubuh) yang menggambarkan bangsa. Dalam tarian tergambar cita rasa, daya cipta dan karsa dari sekelompok orang-orang. Tarian Melayu yang lemah gemulai, tarian Nias atau Papua yang menghentak-hentak, atau tarian Mexico yang cepat-sigap, menggambarkan bahasa hati/jiwa, sikap hidup mereka.
Akan halnya tortor Batak, tidak jauh berbeda dengan makna yang digambarkannya dalam gerak yang selalu diiringi oleh musik tradisional gondang sabangunan. Tortor Batak juga menggambarkan pengalaman hidup orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira/senang, bermenung, berdoa/menyembah, menangis, bahkan keinginan-cita-cita dan harapan dan lain sebagainya dapat tergambar dalam Tortor Batak. Karenanya, penulis tidak menerima pernyataan sementara orang-orang bahwa Tortor Batak sifatnya “monoton” atau begitu-begitu saja.
Di era masuknya agama Kristen ke tanah Batak, pernah terjadi di sebuah wilayah bahwa tortor Batak tidak diperbolehkan dipagelarkan dalam pesta atau hajatan lain, karena dianggap bernuansa “animisme” bahkan di zaman inipun justru ada “agama” yang mengharamkan menggunakan ulos,, tortor, gondang sabangunan dan adat Batak  dengan alasan bahwa mereka yang menggunakannya bukan orang yang beragama. Kenyataan di dalam masyarakat, ulospun dibakar, mereka yang menggelar gondang dan tortor Batak dikeluarkan dari sekte gereja.
Dapat digambarkan bahwa tortor Batak memaknai kehidupan seni-budaya Batak, persoalannya apakah bertentangan dengan agama atau tidak tergantung kepada cara pandang dan pemahaman kita. Bahkan akhir-akhir ini, justru dalam kebaktian agama (gereja) tortor dan gondang Batak telah menjadi bagian dan pendukung acara kebaktian (misalnya lakon pengakuan dosa dan mengantar persembahan digambarkan/dikoreografis dengan tortor Batak). Gambaran kehidupan orang Batak sebagaimana direfleksikan dalam tortor Batak tentu akan dapat dipahami melalui urut-urutan dan nama musik gondang yang diminta oleh tetua kelompok (paminta gondang), biasanya didahului dengan Gondang Mula-mula, Gondang Somba, Gondang Mangaliat, Gondang Simonang-monang, Gondang Sibungajambu, Gondang Marhusip, dan seterusnya yang  diakhiri dengan Gondang Hasahatan Sitio-tio. Demikian juga tortor/gerakan yang dilakonkan akan berbeda sesuai dengan irama dari gondang yang dibunyikan oleh Pargonsi (Pemusik).
Bagi mereka yang mengetahui, memahami dan menikmati irama gondang dan tortor akan menyadari betul apa yang digambarkan dan dimaknai tortor yang dipagelarkan. Dengan demikian, semua orang Batak dapat manortor tetapi tidak semua disebut panortor (penari) atau “pandai manortor”  karena untuk menjadi panortor Batak haruslah memiliki talenta dan latihan yang kontinu.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Tortor (Batak)
Dalam melakonkan Tortor, sudah barang tentu tidak sekedar membuat gerak tangan, kaki atau badan, juga gerak mata (pandangan) dan ekspressi (mimik) tetapi juga musik pengiring yang dipergunakan harus berirama Batak  yakni gondang sabangunan yang terdiri ada taganing, ogung (doal, panggora, oloan), sarune, odap gordang dan hesek, sebab gerakan manortor harus mengikuti irama/rytme perangkat musik tersebut. Selain itu, pakaian yang lazim digunakan juga harus sesuai dengan motif Batak, misalnya selendang atau ulos yang dipakai  tergantung maksud dan tujuan acara-pesta seperti ulos  sibolang, ragi idup, tali-tali, suri-suri dan sebagainya
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa gerak tortor Batak berbeda dalam setiap jenis musik yang diperdengarkan dan berbeda pula gerak tortor laki-laki dan gerak tortor perempuan. Menurut para pemerhati tortor, bahwa tortor yang dilakonkan juga dibedakan antara tortor raja dengan tortor natorop.
Sementara perangkat lain dalam acara tortor Batak biasanya harus ada orang yang menjadi pemimpin kelompok tortor dan pengatur acara/juru bicara (paminta gondang), untuk yang terakhir ini sangat dibutuhkan kemampuan untuk memahami urutan gondang dan jalinan kata-kata serta umpasa dalam meminta gondang. Bagaimanapun juga, tortor Batak adalah identitas seni budaya masyarakat Batak yang harus dilestarikan dan tidak lenyap oleh perkembangan zaman dan peradaban manusia. Dalam tortor Batak terdapat nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti yang perlu ditanamkan kepada generasi muda.
Jika belakangan ini dilansir bahwa generasi muda Batak kehilangan jati diri ditandai dengan tidak mampu berbahasa Batak, tidak bersikap seperti orang Batak, tidak memahami seluk-beluk adat Batak, maka ke depan hal ini harus menjadi bagian dari perhatian masyarakat Batak dan Pemerintah di Bona Pasogit.
Selayaknya kita berterima kasih kepada Pemerintah Daerah yang berupaya melestarikan budaya Batak baik melalui penetapan Belajar Aksara Batak menjadi muatan lokal di sekolah SD, (mungkin perlu hingga tingkat SMP dan SMA); tetapi alangkah baiknya bila Pemerintah Daerah juga memberi perhatian terhadap pelestarian adat budaya Batak seperti Festival Marhata Adat, Festival Tortor, Festival Marturi-turian, Lomba Menulis Cerita-Legenda/Sejarah, dan lain sebagainya.
Aksara Batak
Perkembangan budaya tradisional Nusantara mengalami tantangan yang semakin kompetitif dari budaya-budaya negara lain. Hal ini merupakan indikasi diperlukannya suatu terobosan inovatif untuk mendongkrak kembali nilai-nilai budaya tradisional yang terpuruk ke tempat yang lebih layak dalam pandangan masyarakat modern.
Salah satu aksara yang perlu mendapat perhatian khusus adalah aksara Batak yang terancam punah terkait dengan keterbatasan sumber data dan informasi. Berbeda dengan sastra dan budaya Jawa yang cukup eksis, aksara Batak masih sangat minim dimengerti oleh masyarakat. Bahkan sebagian besar masyarakat Batak sendiri tidak mengetahui adanya aksara Batak.
Faktor-faktor penyebab punahnya tradisi penulisan aksara Batak antara lain:
1. Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-  torhanan,   turiturian, huling-hulingan semuanya diturunkan hanya secara lisan dari generasi ke generasi.
2. Masuknya agama Islam dan Kristen ke tanah Batak, yang membenci produk-produk pustaha para datu yang dianggap “obyek-obyek kekafiran”    sehingga mengakibatkan timbulnya pemusnahan massal. Akibatnya, semenjak tahun 1852 pustaha telah terancam punah
3. Sisa pustaha Batak yang masih ada tersimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan mancanegara terutama Belanda dan Jerman, dan sebagian kecil di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Dalam era modern saat ini media komunikasi tulis global yang paling efektif adalah huruf latin. Fakta inilah yang menjadi dasar upaya adaptasi karakter aksara Batak ke dalam huruf latin, sebagai suatu solusi yang baik dari segi fungsi, efisiensi serta faedah yang dapat diterima oleh masyarakat. Faktor-faktor ini penting, mengingat aksara dalam segi komunikasi tidak dibutuhkan lagi.
Tujuan akhir dari proses penelitian adalah dihasilkannya desain huruf latin berkarakter Aksara Nusantara, dengan fokus aksara Batak Toba, yang menjadikan aksara Batak mudah diakses dan dikenal karakternya oleh suku dan bangsa lain di seluruh dunia, termasuk masyarakat Batak sendiri. Dengan demikian, huruf latin berkarakter aksara Nusantara ini dapat difungsikan sebagai mediator sosialisasi visual aksara Batak dengan tingkat efektivitas yang setara dengan huruf latin dan tingkat penyebaran bertaraf global.
Proses Perancangan Pola Huruf
Sebagai media komunikasi tulis, aksara memiliki perbedaan signifikan dengan huruf latin, terutama dari segi visual dan teknis pembacaan. Pembeda dari segi visual antara lain proporsi, karakter visual, anatomi huruf, dan konstruksi geometri. Pembeda dari segi teknis pembacaan adalah aksara Batak termasuk dalam jenis aksara silabik, yaitu aksara yang menggambarkan suku kata (a-ha-ma-na-ra) sedangkan huruf latin termasuk dalam jenis aksara fonetik yaitu jenis aksara yang berupa lambang fonem (ab-c-d-e). Atas dasar perbedaan-perbedaan ini, maka proses adaptasi karakter huruf memerlukan suatu bentuk pola dasar huruf yang menjadi titik temu antara karakter aksara Batak Toba dengan karakter huruf latin.

Sumber:
www.ilusisemata.com/2011/04/pentingnya-menjaga-budaya.html

kulinet.com/artikel/permasalahan+budaya+di+indonesia/

http://visitsamosir.wordpress.com/2011/01/02/tortor-batak-ekspresi-seni-budaya-hiburan-dan-komoditi-wisata/

http://ediwarchaniago.wordpress.com/2009/03/07/konflik-kebudayaan-antara-timur-dan-barat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar