Powered By Blogger

Kamis, 12 April 2012

Artikel Kebudayaan dan Masyarakat


Mengapa Budaya Wayang Luntur ?

Jakarta (ANTARA News) - Wayang adalah 100 % produk asli budaya Indonesia dan badan PBB  UNESCO sudah menyebut n hak cipta wayang asli untuk Indonesia. Namun,bagaimana kondisi wayang itu sendiri di Indonesia terutama di mata anak-anak dan anak muda.

Ki Dalang Rohmad Hadiwijoyo mengaku prihatin dengan kondisi wayang di Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh generasi muda Indonesia. Padahal, Wayang adalah salah satu karya adiluhung Indonesia yang menyebarkan pesan moral yang penuh makna.

"Saya sedih melihat budaya wayang mulai pudar di mata anak-anak," katanya ketika meluncurkan bukunya yang berjudul "Bercermin di Layar Realita Antara Cerita" di  Jakarta pada Rabu (22/6).

Rohmadi melihat lunturnya budaya wayang di mata anak muda karena orang tua kurang memperkenalkan budaya wayang kepada anak sejak dini mereka sehingga ketika anak itu tumbuh dewasa, anak itu lebih mengenal dengan cerita-cerita komik yang notabene berasal dari luar Indonesia.

"Orang tua lupa mengajarkan anaknya budaya Indonesia termasuk wayang sejak dini," katanya.

Kedua, dia (Rohmadi) menilai peran masyarakat sangat penting dalam menjaga kelestarian budaya wayang dengan menggelar acara wayang secara rutin dalam setiap acara kemasyarakatan seperti pernikahan.

"Peran masyarakat yaitu sering-sering "nangkap" wayang," katanya.

John McGlynn, Ketua Pembina Yayasan Lontar mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan wayang kurang populer di mata anak muda yaitu produk lama, bahasa, kemasan dan waktu.

McGlynn, warga Wiscounsin, Amerika Serikat yang jatuh cinta pertama kali dengan Indonesia karena wayang melihat umumnya pergelaran wayang menggunakan bahasa Jawa sehingga susah dimengerti orang anak muda sekarang dan waktu pergelarannya biasanya pada malam hari ketika anak-anak sudah beranjak tidur.

"Anak-anak sekarang susah mengerti Jawa dan waktunya malam hari," katanya.

Namun, Rohmadi menyangkal faktor-faktor masalah tersebut, dia memiliki beberapa kemasan menarik bagaimana cara menggelar wayang untuk anak-anak.

Dia (Rohmadi) mengatakan saat ini pergelaran wayang sudah bisa menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa Asing, tempat pergelarannya pun bukan di lapangan desa tapi sebuah pusat perbelanjaan untuk menarik minat orang dan masalah waktu, pergelaran wayang bisa digelar pada Siang hari.

"Saya pernah menggelar wayang di Cilandak Town Square dengan 500 penonton," katanya.
(Adm/A038)

FILM DAN DISKUSI WAYANG DIMATA ANAK MUDA
Komentar para remaja ini nyaris seragam: tidak suka, bosan atau ngantuk. Bukan saat mendengarkan pelajaran di sekolah atau mengikuti upacara bendera tapi saat menonton pementasan wayang kulit. Komentar ini dilontarkan para remaja dalam film ‘Wayang Mencari Soulmate’ yang diputar di Rumah Budaya Tembi, 15/7. Dari sekitar sepuluh remaja ini hanya ada seorang yang suka. Tentu saja film ini bukan poling yang menyimpulkan bahwa sebagian besar remaja di Yogya tidak menyukai wayang tapi agaknya lebih sebagai gambaran dinamika anak muda terhadap wayang (baca: pementasan wayang kulit).
Film ini hasil karya para remaja yang tergabung dalam Kobate (Komunitas Belajar Anak Tembi) dari Dusun Tembi yang difasilitasi Yayasan Kampung Halaman. Film yang digarap sekitar dua bulan ini mengangkat pandangan mereka terhadap wayang. Usai pemutaran, dilakukan diskusi bertajuk ‘Anak Muda dan Masa Depan Seni Tradisi’, yang dipandu Zamzam dari Kampung Halaman.
Mengapa sebagian besar remaja di film ini berkomentar seperti itu? Alasan mereka, selain tidak hafal watak para tokoh wayang, adalah ceritanya yang panjang. Tapi dari diskusi usai pemutaran film, muncul alasan lain para remaja Kobate yang menyentak, yakni tidak memahami bahasanya. Menanggapi alasan ini, Aneng, seorang dalang muda, menilai telah terjadi kemunduran penguasaan bahasa Jawa di kalangan anak muda sehingga mereka mengalami kesulitan memahami bahasa dalam pementasan wayang.
Diskusi –yang sepakat bahwa menurunnya minat terhadap wayang ini bukan salah anak muda– mencoba melihat masalah dan solusinya. Aneng, Ketua Pepadi Bantul Sri Mulyono, dosen seni pedalangan ISI Nuryanto, penggagas ‘wayang remaja’ Junaidi, dosen antropologi UGM Lono Simatupang juga sepakat bahwa yang terpenting adalah bagaimana membuat agar anak muda menyukai wayang terlebih dulu.
Pepadi Bantul, kata Sri Mulyono, memiliki sanggar anak-anak ‘Ayodya’ yang memperkenalkan wayang pada anak-anak. Dari 10-20 anak, setidaknya ada dua anak yang berminat menjadi dalang. Mereka diajarkan memainkan fragmen-fragmen pendek dan sederhana.
Sedangkan Nuryanto membeli perangkat gamelan sedikit demi sedikit. Di rumahnya, ia memainkan musik jathilan yang dianggapnya cukup atraktif. Benar saja, satu persatu anak muda merasa tertarik dan minta diajari. Nuryanto mengajarkan sampak, sekaligus juga memperkenalkan tokoh wayang. Agar menarik, ia memainkan tokoh Gatotkaca, yang malah dibuatnya tertawa padahal satria ini tidak pernah tertawa. Senada dengan Mulyono, Nuryanto menandaskan, yang penting melibatkan anak-anak muda ini dulu, melalui bagian-bagian yang mudah dan mengasyikkan. Setelah berlatih sekian lama, pada acara 17 Agustusan selama setengah jam mereka pun mementaskan wayang kulit dengan lakon Aji Narantaka. Menurut Nuryanto, pentas sangat penting sebab kalau hanya latihan terus-menerus mereka akan bosan.
Untuk menarik minat anak muda Junaidi bahkan membuat wayang sendiri, yang tampilannya lebih ‘ngepop’ sekaligus lebih simpel. Meski langkahnya mengundang banyak kritik, bagi dalang muda ini yang terpenting adalah anak muda bisa menyukai wayang. Lagi pula, menurutnya, meski fisik Gatotkaca berubah ia tetap mempertahankan karakter satria ini. Baginya, karakter wayang adalah hal penting lainnya agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Cara lain adalah melalui pendidikan di sekolah. Sayangnya, kata seorang pengurus Pepadi Bantul, muatan lokal di pendidikan dasar dan menengah banyak yang tidak disampaikan dengan profesional. Karena tak menguasai tentang Gatotkaca, misalnya, guru melewati bagian ini, dan tidak menerangkannya kepada murid. Padahal menurutnya, sarana penting untuk mengenalkan wayang adalah muatan lokal. Sedangkan Nuryanto mengusulkan agar Pepadi membuat program dalang masuk sekolah dengan durasi cukup satu jam, misalnya memperkenalkan tokoh Janaka dan Cakil.
Tapi benarkah anak muda sudah tidak menyukai wayang? Junaidi menolak vonis bahwa anak muda tidak suka wayang. Ia mengisahkan pengalamannya saat berceramah tentang wayang untuk siswa SMA se-DIY, ternyata para siswa menunjukkan minat yang besar. Bagi Junaidi, soalnya adalah bagaimana agar menyenangkan anak-anak dengan wayang.
Dalam film “Wayang Mencari Soulmate”, tampilan para remaja ini sempat diperankan wayang buatan Junaidi. Dimulai dari seorang remaja yang mengajak temannya menonton pementasan wayang kulit di Rumah Budaya Tembi. Alasannya, untuk persiapan ulangan bahasa Jawa esok harinya yang terkait dengan wayang. Akhirnya ada empat anak yang pergi menonton wayang kulit –yang riilnya memang sedang dipentaskan (jadinya, wayang nonton wayang). Tapi baru sebentar remaja yang mengajak tadi sudah merasa pusing dan mengajak pulang. Seorang teman perempuannya tetap di tempat karena berkenalan dengan seorang remaja pria, wayang berambut gondrong yang modis. Mereka yang pulang duluan lalu mampir ke rumah seorang teman yang sedang asyik nonton ‘Super Mama’ di televisi, yang menampilkan Ivan Gunawan dan Eko Patrio. Akhirnya para remaja itu pun menonton acara ini beramai-ramai. Sosok mereka berubah dari wayang menjadi manusia.
Dalam film ini, kebanyakan mereka yang semula mengaku tidak menyukai wayang, setelah terlibat pembuatan film, akhirnya menjadi suka. Alasannya, dalam proses pembuatan film ini mereka jadi lebih memahami cerita dan karakter wayang. Sayangnya, menurut Lono, proses dari tidak suka menjadi suka ini tidak muncul dalam film padahal ini bagian yang penting untuk ditampilkan.
“Lebih suka mana, nonton wayang atau membuat film,” kejar Lono pada saat diskusi. Setelah jeda sejenak, “Lebih suka membuat film,” jawab mereka dengan ekspresi agak malu-malu yang diikuti suara gelak tawa.

SENI GAMELAN KIAN DITINGGALKAN
*MINIM REGENERASI*

CILACAP-Makin minimnya generasi muda yang bisa memainkan alat musik gamelan, membuat prihatin Dewan Kesenian Cilacap. Ketua Dewan Kesenian Cilacap (DKC), Ansor Basuki Balasikh menilai, perlu ada langkah dan dukungan pihak terkait agar kesenian ini tetap lestari.

“Kalau bukan kita, siapa lagi yang mau peduli dengan kesenian sendiri. Gamelan sebagai salah satu warisan budaya bangsa, harus dilestarikan,”kata dia.

Menurutnya gamelan bukan hanya menjadi kebanggan masyarakat Jawa. Namun gamelan sudah menjadi kesenian yang mendunia. Buktinya, gemelan justru banyak dipelajari oleh anak-anak muda di luar negeri.

“Sayang memang, saat anak-anak muda kita gandrung dengan musik kontemporer, justru mereka lupa gamelan sebagai warisan budaya Indonesia,”ujar dia prihatin. Dia menilai, minimnya regenerasi menjadi factor utama makin rendahnya minat generasi muda mempelajari kesenian ini

Pria yang juga bekerja di Humas Pemkab Cilacap ini berharap agar gamelan terus dikenalkan kepada anak-anak muda melalui bidang pendidikan dan bidang kebudayaan lainnya . Juga melalui wadag lain seprti organisasi kemasyarakatan maupun organisasi yang memiliki banyak anggota seperti PKK. “Sebenar gamelan mempunyai nilai jual yang tinggi jika mampu mengkolaboraskian denganmusik-musik kontemporer,”kata dia.

Dia menyebutkan grup musik Kyai Kanjeng pimpinan Budayawan MH Ainun Nadjib atau grup musik Ki Ageng Ganjur pimpinan Dr AL Zastrow

“Anak-anak muda kita memang senangnya hanya meniru-niru saja. Meski ada juga yang kreatif, namun jumlahnya tidak banyak,”kritiknya.

Hal yang sama di katakan Seniman Mbeling asal Cilacap, Daryono Yunani. Pria berambut gondrong ini bahkan ikut mencoba melestarikan galemlan memalui grup musik gabungan dari gamelan, kasidah dan musik modern yang dinamai Belan Genjing.

Dia mengatakan, jika tidak ada upaya serius untuk melestarikan gamelan, bukan tidak mungkin di Indonesia nanti ada alatnya tapi tidak ada yang bisa memainkannya. Atau bahkan gamelan nantinya menjadi budaya yang pindah dari Indonesia ke negeri lainnya.

“Kalau kenyataan di Indonesia nangti sudah tidak ada yang bisa main, sah-sah saja gamelan menjadi milik negara lain, ini yang harus kita cegah,”tutur dia.

Pria yang piawai melukis ini juga menilai, apresiasi pemerintah terhadap pelaku seni sangat minim. Wajar jika pelaku seni juga enggan untuk melakukan upaya pelestarian, sehingga seni gamelan hanya sekedar dijadikan hobi. (yan/din)





















MENGUBAH BATOK KELAPA MENJADI KARYA SENI

Solo: Batok atau tempurung kelapa sepintas hanya sebuah sampah yang mungkin tak berarti apa-apa. Namun jika diolah dengan tangan kreatif, batok kelapa bisa berganti rupa menjadi sebuah karya seni kerajinan yang bernilai bisnis di antaranya aksesoris, hiasan, mainan, serta alat rumah tangga.

Aksesoris yang terbuat dari batok kelapa antara lain jepitan, dan bingkai foto. Sedangkan perabotan rumah tangga di antaranya gelas, nampan, penutup lampu, sendok, garpu, atau sendok sayur. Dengan sentuhan seni yang halus, kerajinan batok kelapa terlihat sangat artistik. Salah satu perajin batok kelapa adalah Wahyu Hastono.

"Batok kelapa punya beberapa keunggulan, di antaranya teksturnya," kata Wahyu. Bahan yang dibutuhkan membuat kerajinan dari batok kelapa seperti lem kayu, amplas dan cat. Agar terlihat artistik, serat dari tempurung kelapa harus ditonjolkan. Sebab diseratlah melekat nilai seni yang kuat, selain bentuk-bentuk unik yang dibuat.

Wahyu berani menjamin kerajinan patung dari batok kelapa merupakan yang pertama di dunia. "Saya jamin itu," kata Wahyu. Bahan baku ini banyak di dapat di pasar. Padahal sebelumnya batok kelapa hanya dipakai untuk dibakar. Dengan demikian usaha ini dapat menjadi penghasilan bagi pengumpul batok.(JUM)












KEBUDAYAAN BERSIFAT DINAMIS DAN ADAPTIF

Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena
kebudayaan melengkapi manusia dengan cara -cara penyesuaian diri pada
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada
lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya.
Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok
masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain,
tetapi jika dipandang dari hubungan masyaraka t tersebut dengan
lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami.
Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan -pantangan pergaulan seks pada
masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan anaknya sampai
anak tersebut mencapai usia tertentu. B agi orang di luar kebudayaan
tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat
pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan -pantangan seperti itu,
hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik
dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu
mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi
memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan -pantangan
tersebut.
Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi seb enarnya
merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut
untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan
pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan
penyesuaian yang dilakukan oleh kebu dayaan tersebut membutuhkan suatu
pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk
sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga
dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang
awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk
membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan
sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan -kesulitan praktis dalam
memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mung kin pada
hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah
alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka
mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat
disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus
mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka
adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara
penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara
penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan
mungkin saja akan memilih cara -cara yang berbeda terhadap keadaan yang
sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban
terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih
tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan –alasan ini sangat
banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu
menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada
umumnya orang akan mengubah tingkah -laku mereka sebagai jawaban atau
penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu
akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi.
Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk
menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak
kebudayaan yang punah karena hal -hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan
baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam
atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan -kebiasaan yang
baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur -unsur baru yang masuk dari luar
kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri.
Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat.
Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu
kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu
dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu
akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan
tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan
hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan
masyarakat tersebut.
Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini
tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan
penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya
juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro -kontra antara
berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua
dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.


 

 

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan Indonesia

Perkembangan Sosial Dan Kebudayaan IndonesiaSetiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas. Akan tetapi berbeda dengan kehidupan lainnya, manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif. Manusia tidak sekedar mengandalkan hidup mereka pada kemurahan lingkungan hidupnya seperti ketika Adam dan Hawa hidup di Taman Firdaus. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola lingkungan dan mengolah sumberdaya secara aktif sesuai dengan seleranya. Karena itulah manusia mengembangkan kebiasaan yang melembaga dalam struktur sosial dan kebudayaan mereka. Karena kemampuannya beradaptasi secara aktif itu pula, manusia berhasil menempatkan diri sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di muka bumi dan paling luas persebarannya memenuhi dunia.
Di lain pihak, kemampuan manusia membina hubungan dengan lingkungannya secara aktif itu telah membuka peluang bagi pengembangan berbagai bentuk organisasi dan kebudayaan menuju peradaban. Dinamika sosial itu telah mewujudkan aneka ragam masyarakat dan kebudayaan dunia, baik sebagai perwujudan adaptasi kelompok sosial terhadap lingkungan setempat maupun karena kecepatan perkembangannya.
MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
Dinamika sosial dan kebudayaan itu, tidak terkecuali melanda masyarakat Indonesia, walaupun luas spektrum dan kecepatannya berbeda-beda. Demikian pula masyarakat dan kebudayaan Indonesia pernah berkembang dengan pesatnya di masa lampau, walaupun perkembangannya dewasa ini agak tertinggal apabila dibandingkan dengan perkembangan di negeri maju lainnya. Betapapun, masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang beranekaragam itu tidak pernah mengalami kemandegan sebagai perwujudan tanggapan aktif masyarakat terhadap tantangan yang timbul akibat perubahan lingkungan dalam arti luas maupun pergantian generasi.
Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat (external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus menata kembali kehidupan mereka .
Betapapun cepat atau lambatnya perkembangan sosial budaya yang melanda, dan factor apapun penyebabnya, setiap perubahan yang terjadi akan menimbulkan reaksi pro dan kontra terhadap masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. Besar kecilnya reaksi pro dan kontra itu dapat mengancam kemapanan dan bahkan dapat pula menimbulkan disintegrasi sosial terutama dalam masyarakat majemuk dengan multi kultur seperti Indonesia.
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN KEBUDAYAAN DEWASA INI
Masyarakat Indonesia dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedang tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaannya. Di lain pihak, tanpa disadari, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Indonesia yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kelimbungan dalam menata kembali tatanan sosial, politik dan kebudayaan dewasa ini.
Penerapan teknologi maju
Penerapan teknologi maju untuk mempercepat pebangunan nasional selama 32 tahun yang lalu telah menuntut pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial disamping ketrampilan dan keahlian tenagakerja dengn sikap mental yang mendukungnya. Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya itu memerlukan penanaman modal yang besar (intensive capital investment); Modal yang besar itu harus dikelola secara professional (management) agar dapat mendatangkan keuntungan materi seoptimal mungkin; Karena itu juga memerlukan tenagakerja yang berketrampilan dan professional dengan orientasi senantiasa mengejar keberhasilan (achievement orientation).
Tanpa disadari, kenyataan tersebut, telah memacu perkembangan tatanan sosial di segenap sector kehidupan yang pada gilirannya telah menimbulkan berbagai reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dalam proses perkembangan sosial budaya itu, biasanya hanya mereka yang mempunyai berbagai keunggulan sosial-politik, ekonomi dan teknologi yang akan keluar sebagai pemenang dalam persaingan bebas. Akibatnya mereka yang tidak siap akan tergusur dan semakin terpuruk hidupnya, dan memperlebar serta memperdalam kesenjangan sosial yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memperbesar potensi konflik sosial.dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya.
Keterbatasan lingkungan (environment scarcity)
Penerapan teknologi maju yang mahal biayanya cenderung bersifat exploitative dan expansif dalam pelaksanaannya. Untuk mengejar keuntungan materi seoptimal mungkin, mesin-mesin berat yang mahal harganya dan beaya perawatannya, mendorong pengusaha untuk menggunakannya secara intensif tanpa mengenal waktu. Pembabatan dhutan secara besar-besaran tanpa mengenal waktu siang dan malam, demikian juga mesin pabrik harus bekerja terus menerus dan mengoah bahan mentah menjadi barang jadi yang siap di lempar ke pasar. Pemenuhan bahan mentah yang diperlukan telah menimbulkan tekanan pada lingkungan yang pada gilirannya mengancam kehidupan penduduk yang dilahirkan, dibesarkan dan mengembangkan kehidupan di lingkungan yang di explotasi secara besar-besaran.
Di samping itu penerapan teknologi maju juga cenderung tidak mengenal batas lingkungan geografik, sosial dan kebudayaan maupun politik. Di mana ada sumber daya alam yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan industri yang ditopang dengan peralatan modern, kesana pula mesin-mesin modern didatangkan dan digunakan tanpa memperhatikan kearifan lingkungan (ecological wisdom) penduduk setempat.
Ketimpangan sosial-budaya antar penduduk pedesaan dan perkotaan ini pada gilirannya juga menjadi salah satu pemicu perkembangan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang befungsi sebagai pedoman dan kerangka acuan penduduk perdesaan yang harus nmampu memperluas jaringan sosial secara menguntungkan. Apa yang seringkali dilupakan orang adalah lumpuhnya pranata sosial lama sehingga penduduk seolah-olahkehilangan pedoman dalam melakukan kegiatan. Kalaupun pranata sosial itu masih ada, namun tidak berfungsi lagi dalam menata kehidupan pendudduk sehari-hari. Seolah-olah terah terjadi kelumpuhan sosial seperti kasus lumpur panas Sidoarjo, pembalakan liar oleh orang kota, penyitaan kayu tebangan tanpa alas an hokum yang jelas, penguasaan lahan oleh mereka yang tidak berhak.
Kelumpuhan sosial itu telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan dan berlanjut dengan pertikaian yang disertai kekerasan ataupun amuk.
PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
Sejumlah peraturan dan perundang-undangan diterbitkan pemerintah untuk melindungi hak dan kewajiban segenap warganegara, seperti UU Perkawinan monogamous, pengakuan HAM dan pengakuan kesetaraan gender serta pengukuhan “personal, individual ownership” atas kekayaan keluarga mulai berlaku dan mempengaruhi sikap mental penduduk dengan segala akibatnya.
PENDIDIKAN
Kekuatan perubahan yang sangat kuat, akan tetapi tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah pendidikan. Walaupun pendidikan di manapun merupakan lembaga ssosial yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala dan keinginan tahu peserta didik. Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).
Di samping kreativitas inovatif yang membekali peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia, melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata hubungan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial. Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai peredam potensi konflik dalam masyarakat majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara berkesinambungan.
Di samping pendidikan, penegakan hukum diperlukan untuk menjain keadilan sosial dan demokratisasi kehidupan berbangsa dalam era reformasi yang memicu perlembangan sosial-budaya dewasa ini. Kebanyakan orang tidak menyadari dampak sosial reformasi, walaupun mereka dengan lantangnya menuntut penataan kembali kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sesungguhnya reformasi mengandung muatan perubahan sosial-budaya yang harus diantisipasi dengan kesiapan masyarakat untuk menerima pembaharuan yang seringkali menimbulkan ketidak pastian dalam prosesnya.
Tanpa penegakan hukum secara transparan dan akuntabel, perkembangan sosial-budaya di Indonesia akan menghasilkan bencana sosial yang lebih parah, karena hilangnya kepercayaan masyarakat akan mendorong mereka untuk bertindak sendiri sebagaimana nampak gejala awalnya dewasa ini. Lebih berbahayalagi kalau gerakan sosial itu diwarnai kepercayaan keagamaan, seperti penatian datangnya ratu adil dan gerakan pensucian (purification) yang mengharamkan segala pembaharuan yang dianggap sebagai “biang” kekacauan.
Betapaun masyarakat harus siap menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.




MENYIMAK PERGESERAN BUDAYA DIKALANGAN REMAJA DAN PRILAKU HEDONISME DIKALANGAN REMAJA
Kalau Anda berkenan untuk sejenak berhenti dari kesibukan membuat tugas kuliah atau diskusi tentang mata kuliah, baik kalau kita menjadi lebih kritis untuk mengamati kecenderungan perilaku kaum muda remaja dewasa ini yang tentunya menarik untuk dipikirkan bersama.
Semakin pesatnya tren kapitalisme dan konglomerasi elite tertentu maka pertumbuhan kwantitatif tempat-tempat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan semakin berkembang bak jamur dimusim hujan. Fenomena tersebut secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang. Pergeseran budaya mulai menjangkiti kaum muda remaja tanpa kompromi dan eksodus besar-besaran tentang paradigma berpikir kaum muda remaja, dari budaya timur menuju budaya barat. Anda dapat melihat kaum muda remaja hedonis bersliweran dengan berbagai mode rambut dengan busana thank top atau junkies, dan alat-alat digital lainnya. Iklim masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat tempo dulu. Namun, bila gejala ini kita telaah lebih lanjut bahwa kaum muda remaja telah jatuh kedalam euforia budaya pop. Selanjutnya kaum muda remaja yang seharusnya menjadi homo significans malahan jatuh kedalam pendangkalan nilai hidup.
Tulisan ini hanya mengajak para pembaca untuk merenungi dampak globalisasi tanpa harus terjerat ke dalam arus pendangkalan hidup post-modernisasi dan bagaimana hal tersebut tidak menggerogoti nilai-nilai positif yang menjadi warisan budaya kita.
Euforia Budaya Pop Remaja : Buah Globalisasi
Manusia harus berubah. Itulah hal yang mendasar yang perlu dipikirkan secara bersama. Memang benar bahwasannya manusia dengan segala budaya dan akal budinya harus dikembangkan seoptimal mungkin, karena akan semakin mengkokohkan kedudukannya dimuka bumi sebagai God Creature yang sempurna dibandingkan dengan ciptaan lainnya.
Kali ini, manusia beralih menuju rentang waktu yang kontradiksional dengan fase-fase sebelumnya, yaitu fase globalisasi. Di satu sisi manusia memang dituntut untuk berkembang menuju kearah yang lebih modern, baik aspek teknologi, hukum, sosial/kesejahteraan sosial, politik, demokrasi, dan semua sistem lainnya harus disempurnakan. Teknologi bidang informatika, kedokteran, bioteknologi, dan transportasi mengalami perkembangan yang begitu dahsyat mengatasi batas-batas ruang dan waktu.
Namun, tidak boleh dilupakan bahwa hasil perkembangan manusia bersifat relatif dan ambivalen. Pengaruh negatif dari globalisasi adalah euforia budaya pop, perdagangan bebas, marginalisasi kaum lemah, dan timbulnya gap relation antaara si kaya dan si miskin. Hasil tersebut telah membentuk suatu budaya baru bagi masyarakat, khususnya kaum muda remaja menjadi manusia yang terjebak dalam arus budaya pop.
Penghayatan Hidup dikalanagan Remaja yang Semakin Mendangkal
Ilustrasi di awal tulisan ini hanyalah sekelumit deskrispsi yang membuktikan eksistensi kecenderungan dalam diri manusia modern. Masih banyak contoh-contoh lain sebagai hasil dari globalisasi. kaum muda remaja dewasa ini lebih suka membaca komik atau main game daripada harus membaca buku-buku bermutu. Bacaan dengan analisis mendalam dan novel-novel bermutu hanya menjadi bagian kecil dari skala prioritas mereka, bahan-bahan bacaan seperti itu hanya tersentuh jika terpaksa atau karena tuntutan akademis.
Anda dapat mengelak bahwa gejala-gejala ini merupakan bentuk adaptif dari kemajuan zaman. Tapi, itu adalah rasionalisasi. Sebenarnya, kecenderungan manusia sekarang bukan hanya sekedar masalah mengikuti perkembangan zaman melainkan hal ini adalah masalah gengsi dan penghayatan hidup.
Bukti yang paling mengena adalah televisi, berbagai acara televisi semakin hari semakin jauh dari idealisme jurnalistik, bahkan semakin melegalkan budaya kekerasan, instanisasi, dan bentuk-bentuk kriminalitas. Sebagian tayangan-tayangan tersebut hanya semakin mendangkalkan sifat afektif manusia. Tayangan mengenai bencana alam, kemiskinan, perang, kelaparan, penemuan teknologi, pembelajaran budaya, dan lain sebagainya telah membuat sisi afeksi manusia tidak peka terhadap hal tersebut. Tidak ada proses batin dan intelektual lebih lanjut. Penghayatan nilai-nilai luhur semakin tereduksi.
Eksistensi kaum muda remaja hanya ditempatkan pada pengakuan-pengakuan sementara, misalnya seorang remaja dianggap eksistensinya ada jika remaja tersebut masuk menjadi anggota geng motor, menggunakan baju-baju bermerk, menggunakan blueberry, dugem, clubbing, melakukan freesex, ngedrugs, dan lain sebagainya. Eksistensi kaum muda remaja hanya dihargai sebatas kepemilikan dan status semata. Jika pendangkalan ini terus dipelihara dan dibudidayakan dikalangan remaja kita, makna dan penghargaan terhadap insan manusia semakin jauh. Hasilnya adalah menghilangnya penghargaan terhadap manusia lainnya, misalnya: perang, pemerkosaan, komersialisasi organ tubuh, trafficking, tawuran, dll. Contoh-contoh ini menjadi indikasi kehancuran sebuah kebudayaan yang dimulai dari pergeseran nilai-nilai budaya di kalangan kaum muda remaja kita. Dampak yang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan!
Solusi : Internalisasi
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa manusia sebagai homo significans, pada hakikatnya menjadikan manusia sebagai manusia pemberi makna. Jurus paling ampuh untuk mengatasi pendangkalan hidup post-modernisasi adalah pengendapan atau internalisasi. Internalisasi merupakan proses memaknai kembali makna-makna hidup. Makna hidup yang tadinya dihargai secara dangkal, kali ini digali dan diselami.
Ada dua metode internalisasi yang ditawarkan, yaitu budaya refleksi dan keheningan. Keduanya saling komplementer dan tidak dapat dipisahkan jika hendak melawan arus budaya pop. Refleksi membutuhkan suasana hening. Keheningan jiwa dapat tercapai saat berefleksi. Secara etimologis, refleksi berasal dari verbum compositum bahasa Latin re-flectere, artinya antara lain, memutar balik, memalingkan, mengembalikan, memantulkan, dan memikirkan. Kiranya, dua arti terakhir yang cocok untuk mendefinisikan refleksi dalam kerangka permenungan ini. Refleksi adalah usaha untuk melihat kembali sesuatu secara mendalam dengan menggunakan pikiran dan afeksi hingga dapat menemukan nilai yang mulia yang selanjutnya dapat digunakan sebagai bekal hidup. Euforia budaya pop di masa globalisasi menawarkan begitu banyak hal yang hanya berakhir menjadi kesan-kesan tanpa satupun yang dapat dialami. Dengan budaya refleksi, kesan-kesan tersebut dapat diendapkan. Secara satu persatu pengalaman negatif maupun positif dapat dianalisis, dipertimbangkan, disimpulkan, dan akhirnya diendapkan dalam nurani. Proses inilah yang membuat kaum muda remaja dapat menyadari baik dan buruknya suatu sikap. Dalam proses ini juga kaum muda remaja diajak untuk menindaklanjuti berbagai pengalaman yang didapat, sehingga muncul nilai-nilai dari setiap kejadian yang dialami, dan tentunya nilai tersebut dapat menjadi bekal hidup selanjutnya.
Peran refleksi dalam kerangka ini juga sebagai nabi, untuk mengingatkan segala larangan ataupun perintah Tuhan yang diajarkan. Refleksi berperan menjadi fungsi kritis dalam diri kaum muda remaja. Saat ia mengalami pendangkalan nilai-nilai hidup dalam bentuk pragmatisme, konformitas buta dan sebagainya. Refleksi menunjukkan kesalahannya, dan mengarahkan kepada yang benar.
Oleh karena itu kita sebagai kaum muda remaja harus mampu merubah diri kita menjadi manusia yang bermakna bagi orang lain melalui sikap dan perilaku sehari-hari. Usaha ini hanya bisa tercapai melalui usaha pribadi bukan orang lain, ada pepatah mengatakan jangan mengubah orang lain sebelum bisa mengubah diri sendiri. Selamat berefleksi wahai para remaja … !


SUMBER:

http://wayanganak.wordpress.com/
sumber: radar banyumas



Tidak ada komentar:

Posting Komentar